Rabu, 12 Oktober 2016

Review Film : Erased (2016)



“I want to believe.”
— Satoru Fujinuma
 Time-travel adalah premis yang menarik namun juga pelik untuk diangkat menjadi sebuah film. Akan selalu timbul pertanyaan tentang paradoks dan azas sebab-akibat. Erased menambah kerumitan tersebut dengan elemen misteri pembunuhan. Materi seperti ini berpotensi menjadi produk yang kacau, dan benar saja, Erased adalah film potensial yang berakhir kacau.

Yang lebih mengecewakan adalah fakta bahwa filmnya diangkat dari materi yang sangat bagus. Manga-nya yang berjudul asli Boku Dake Ga Inai Machi cukup sukses di Jepang (mendapat nominasi Manga Taisho Award dan Tezuka Osamu Cultural Prize), sementara adaptasi animenya merupakan satu yang terbaik di musim lalu. Dibandingkan adaptasi manga/anime lain seperti Assassination Classroom dan Attack on Titan, Erased sebenarnya lebih cinema-ready karena plotnya yang lurus dan tak episodik. Pembuat filmnya sepertinya tak tahu daya tarik utama dari materi orisinal, lantas malah mengabaikannya.



Tentu saja ada beberapa perubahan minor yang dilakukan agar transisi alurnya berjalan lebih mulus dan filmnya mencapai durasi ideal, seperti penghilangan beberapa karakter yang disoroti di manga/anime atau pemangkasan subplot pembangunan chemistry. Sayangnya, hal serupa juga diterapkan pada motif dan backstory antagonis yang sebenarnya cukup krusial bagi klimaks film.

Ceritanya masih berfokus pada Satoru (Tatsuya Fujiwara), seorang komikus tak sukses yang bekerja paruh waktu sebagai pengantar pizza. Satoru punya kemampuan unik yang disebut "Revival / Pengulangan" yang membuatnya bisa kembali ke masa lalu. Sayang, dia tak begitu bisa mengontrolnya. Kekuatan ini hanya muncul saat ada orang di sekitar yang terancam bahaya. Lagipula kemampuannya terbatas, hanya "mengulang" beberapa menit saja waktu di masa lalu untuk mencegah bahaya itu terjadi.

Namun, ketika sang ibu (Yuriko Ishida) dibunuh oleh seseorang dan ia ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka, Satoru ternyata tak hanya "mengulang" beberapa menit, melainkan terlempar jauh hingga ke 18 tahun sebelumnya, saat ia masih duduk di bangku SD. Satoru percaya ini adalah pertanda bahwa kasus pembunuhan ibunya berhubungan dengan kasus penculikan dan pembunuhan 3 teman sekelasnya yang terjadi di tahun 1988. Salah satu korban adalah Hinazuki (Rio Suzuki), gadis kecil yang tinggal bersama keluarganya yang abusif.

Mekanisme time-travel-nya mirip dengan film The Butterfly Effects, dimana setiap perubahan tindakan yang dilakukan di masa lalu mengubah peristiwa di masa kini. Sama seperti film tersebut, kausalitas dalam Erased hanya mempengaruhi karakter-karakter utama. Saat perubahan ini tak sesuai harapan, Satoru harus mencari cara untuk memperbaikinya lagi. Di timeline manapun, ia terlibat masalah. Di masa lalu, ia memburu (calon) pembunuh sahabatnya, sementara di masa kini ia harus kabur dari buruan polisi.

Dengan cerita yang sebagian besar mengambil tempat di masa lalu, Fujiwara mendapat porsi yang tak begitu dominan, seperti halnya Kasumi Arimura yang berperan sebagai Airi, rekan kerja Satoru. Yang patut disoroti adalah para aktor mungil, termasuk Tsubasa Nakagawa sebagai Satoru kecil yang berhasil tampil dewasa, menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang pria dewasa yang terjebak dalam tubuh anak kecil.

Bagi yang sudah kenal dengan materi aslinya, tentu tahu bahwa Erased adalah melodrama tentang kesendirisn, persahabatan, cinta dan keluarga. Esensi manga/anime Erased memang lebih condong ke drama dibanding misteri atau tema time-travel-nya. Namun kedua versi tersebut tak lantas melupakan elemen lainnya. Narasi yang berlapis dibuat dengan telaten dan diceritakan sedemikian rupa, mencengkeram perhatian. Naskah film yang ditulis oleh Noriko Goto terlalu dangkal untuk mengikat penonton. Alur yang bolak-balik menjadi membingungkan karena sutradara Yuichiro Hirakawa tak punya kerangka yang jelas dalam mempersentasikan perpindahan timeline.

Namun yang paling tidak bisa saya toleransi adalah konklusinya yang sungguh bodoh. Saya tak mempermasalahkan ending-nya yang berbeda dengan versi manga (FYI, versi anime juga punya ending tersendiri). Sang komikus Kei Sambe kabarnya memberikan kebebasan bagi penulis naskah dan sutradaranya. Tak hanya nonsens dan berisi banyak plot hole yang akan membuat anda garuk-garuk kepala, namun penutup ini tujuannya tak lebih dari sekadar memberikan bobot sentimentalitas yang manipulatif. I don't buy that.

Source : UlasanPilem.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar