Rabu, 12 Oktober 2016

[Review] Zutto Mae Kara Suki Deshita

[Review] Zutto Mae Kara Suki Deshita

[Review] Zutto Mae Kara Suki Deshita 

Dalam gelaran AFA ID 2016 tahun ini, pengunjung diberikan kesempatan untuk menonton sebuah film yang sudah banyak ditunggu oleh orang-orang. Film-film tersebut adalah Kizumonogatari Part I: Tekketsu, Kizumonogatari Part II: Nekketsu, dan adaptasi live-action Ore Monogatari!! Namun mungkin, film yang paling membuat saya hype pada hari itu bukanlah film-film tersebut, tapi film adaptasi dari video klip Honeyworks, Zutto Mae Kara Suki Deshita.
Film yang diangkat dari video klip CHiCO bersama dengan Honeyworks yang menceritakan mengenai lika liku kehidupan cinta SMA yang penuh dengan suka duka. Jujur, alasan saya menonton film ini adalah karena Chico dan bukan karena hal lainnya. Saya hanya berharap film ini tidak akan seperti sinetron di TV lokal yang kebanyakan berubah jadi serigala.
joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-6
Mengangkat tema kisah cinta SMA, saya tidak berharap banyak. Dari visual dan beberapa gambar sebelumnya yang bergaya shoujo saya tidak heran bila film ini akan lebih berat kepada para wanitanya dibanding kepada para pria. Namun bukan berarti film ini tidak bisa ditonton oleh para prianya.

Bittersweet love story

Zutto Mae kara Suki Deshita basically adalah sebuah cerita kisah kasih masa SMA yang penuh dengan pahit dan manisnya hubungan pelajar SMA. Film ini cukup simpel dan straightforward, dan sepertinya tidak banyak yang bisa saya ceritakan karena sebenarnya ceritanya pun cukup genericIf you’ve read shoujo manga, I bet you’ve read the story somewhere else.
joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-8
Lucunya, walaupun ini adalah sebuah film yang cukup tipikal, ada pesona yang membuat para penonton tetap tertarik untuk menontonnya. Mungkin karena suara Tomatsu Haruka? Atau gaya gambarnya yang menawan dan menenangkan hati? Bisa juga karena suara lagu Honeyworks dan Chico yang membawa perasaan menonton film ini selalu pas dengan adegan-adegannya.
Film ini mungkin mudah ditebak dan jalur ceritanya pun cukup generic, karakternya tidak jauh berbeda dengan karakter dalam shoujo mangayou’ve probably seen it few times already. Tapi kami semua tetap terhibur dengannya.

Perfectly executed light jokes

Walaupun saya tidak berharap sama sekali film ini akan menjadi sebuah film yang lucu, but it did. Beberapa lelucon yang mereka bawakan bisa dieksekusi dengan baik dan tidak terasa dipaksakan. Mungkin memang ada beberapa lelucon yang sedikit mengarah ke audiens wanita, namun itu bukan masalah. Bila semua penonton pria saat menontonnya bisa tertawa bersama saya, kamu juga pasti bisa.
joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-9
Lelucon yang disuguhkan pun bukan lelucon-lelucon receh, tapi lebih banyak dari karakter dan sifat mereka masing-masing yang menghidupkan suasana dalam seri ini.

Akarin best gurl

joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-5
Yang ini memang penuh dengan subjektivitas, namun saya tidak bisa melepas perasaan yang satu ini. Sayang Akarin belum mendapat porsi yang begitu banyak dalam cerita cinta kali ini. Mulai dari perawakan sampai ke sifatnya yang ceria, bukan tidak mungkin bila saya akan membahas Akarin sebagai waifu di rubrik Waifu Wednesday berikutnya.

CHiCO and Honeyworks

Chico merupakan salah satu penyanyi favorit saya seperti yang sudah dijelaskan di dalam artikel Monday Music beberapa bulan lalu. Zutto Mae Kara Suki Deshita merupakan sebuah film yang terinspirasi dari lagu dia bersama dengan Honeyworks, dan tentu mereka menyanyikan lagu-lagu temanya. Bila kamu cukup jeli pun kamu bisa melihat penampakan Chico atau setidaknya gadis yang mirip dengan Chico dalam film ini.
Lagu-lagu yang sedikit ngebeat bisa mengangkat atmosfer film ini satu tingkat, namun tidak berarti Chico tidak bisa menyanyikan lagu-lagu yang pelan seperti balada. Tapi seperti biasa rentang suara dan vibe dari suara Chico dalam lagu Koi-iro no Sake memang selalu bisa membuat saya merinding di luar dan di dalam. Kapan kamu akan datang ke Indonesia? :'(

Banyak cerita dalam 1 film

Kalau kamu penggemar seri romantis, tentu film ini bisa memuaskanmu dengan baik, apalagi dalam satu film ini diceritakan banyak sekali hubungan antar karakternya. Jadi kamu tidak hanya disuguhkan oleh hubungan satu orang saja, tapi tiga pasangan langsung dengan masalah-masalahnya sendiri. Ada yang memperebutkan satu orang gadis, ada juga yang sama-sama tidak mau jujur kepada perasaannya sendiri, dan ada juga yang terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya masing-masing.
joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-7
Ayo jadian pls.
Film pertama ini memang tidak begitu banyak menceritakan hubungan masing-masing karakter, namun terasa menjadi sebuah fondasi yang baik bagi cerita-cerita berikutnya. Saya benar-benar tidak sabar untuk melihat lanjutan hubungan mereka di film keduanya, karena menurut saya ceritanya masih bisa dikembangkan, dan video-video klip Honeyworks masih memuat beberapa karakter lagi yang belum diceritakan.

Verdict: Manisnya Cinta SMA/10

joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-4
Walaupun mungkin Zutto Mae Kara Suki Deshita mungkin bukan sebuah film yang bombastis, completely original dan mungkn akan banyak dari kamu yang ragu sebelum menontonnya. Namun saya bisa pastikan kalau kamu senang dengan cerita cinta, this film is for you. Apalagi film ini bisa mengingatkanmu kembali ke masa-masa galau SMA yang tidak penting, dan bagi kamu yang memang masih SMA, film ini bisa menjadi pelajaran yang baik untukmu.
Film ini hidup dari hubungan dan interaksi para karakter, walaupun mungkin tidak akan membuatmu semangat, tapi saya yakin beberapa adegan bisa membuatmu gregetan di ujung kursi. Kamu jadi ingin mendukung hubungan si ini dengan si itu, kamu tidak ingin si anu jatuh ke pelukan si itu, kamu juga gatal ingin menggaruk layar televisi karena kelakuan beberapa karakter.
Bukan tidak mungkin juga kamu akan terharu di akhir cerita, I had to hold my tears back, I admit.
joi-review-zutto-mae-kara-suki-deshita-1
Manis, tapi juga pahit, if you want to see something beautiful, you’re not far off, really.
Sumber : JurnalOtaku

[Review] Koe no Katachi

[Review] Koe no Katachi

[Review] Koe no Katachi 

Ternyata selama saya di Jepang kemarin, Kyoto Animation mulai menayangkan film anime “Koe no Katachi“. Tentunya saya menggunakan kesempatan ini untuk menontonnya langsung di bioskop.
Hampir bernasib sama dengan Kimi no Na wa, saya dan teman-teman saya cukup kesulitan untuk mendapatkan kursi karena banyak waktu tayang yang sudah penuh. Tetapi kali ini sedikit lebih mudah karena jumlah rombongan lebih sedikit dan masih ada beberapa kursi kosong meski posisinya kurang bagus.

Adaptasi Cerita yang Lebih Padat

Ketika Kyoto Animation mengumumkan adaptasi Koe no Katachi sebagai film anime, saya sedikit cukup kaget. Memang manga-nya sendiri tidak terlalu panjang jumlah volumenya, hanya 7 volume, tetapi apakah cukup untuk dijadikan 1 film saja? Ternyata Kyoto Animation tidak tanggung-tanggung mengerjakan adaptasinya. Mereka mengadaptasi manga tersebut menjadi film yang berdurasi 130 menit, atau setara dengan 2 jam 10 menit.
review-koe-no-katachi-3
Koe no Katachi menceritakan tentang Shoya Ishida, seorang remaja yang waktu SD sering melakukan bully kepada murid pindahan bernama Shoko Nishimaya yang ternyata tuna rungu. Karena suatu kejadian, Shoya ketahuan dan kemudian teman-teman sekelasnya pun mulai melakukan hal yang sama kepadanya, yaitu bullying. Setelah kejadian ini, waktunya dipercepat ke masa SMA dan Shoya mulai menutup hatinya dan selalu merasa bersalah. Tetapi suatu hari, Shoya kembali bertemu dengan Shoko. Pertemuan ini pun membuat diri Shoya mulai berubah.
Untuk versi film ini, Kyoto Animation melakukan banyak perubahan agar ceritanya bisa selesai dalam 1 film. Mungkin beberapa di antara kalian ada yang kecewa karena perubahan ini, tetapi saya merasa ini adalah hal baik karena ceritanya menjadi lebih padat dan tidak terasa bertele-tele.
review-koe-no-katachi-5
Hal yang sedikit dikecewakan adalah pacing-nya. Alur cerita terasa lambat yang kadang membuat film jadi terasa datar, meski pada saat sudah mencapai klimaks. Belum lagi durasi filmnya cukup panjang. Mungkin karena sudah capek karena saya menonton film ini di hari terakhir saya di Jepang, saya sempat ketiduran sebentar di satu bagian.
Di satu sisi, saya mengerti karena ini adalah sebuah kisah drama, jadi tidak perlu menyampaikan cerita dengan “wah.” Tetapi saya cukup kaget karena bisa merasa pacing film ini cukup lambat padahal ceritanya sudah diringkas dan saya membaca manga-nya maraton hingga tamat.

Desain yang Setia dengan Karya Aslinya

Beberapa serial anime yang dikerjakan oleh Kyoto Animation akhir-akhir ini memiliki desain karakter yang serupa meski berasal dari berbagai seri yang berbeda, coba saja liat K-ON!, Tamako Market, dan lainnya. Untungnya untuk di Koe no Katachi, Kyoto Animation masih setia dengan desain karakter yang masih serupa dengan seri manga-nya. Tidak hanya dari desain saja, cara penggunaan warnanya pun serupa dengan karya aslinya.
review-koe-no-katachi-4
Tetapi yang saya sedikit bingung adalah ketika saya menonton film ini, saya merasa animasinya terasa biasa saja. Padahal biasanya film anime menghadirkan animasi yang jauh lebih baik. Tidak hanya itu, Kyoto Animation juga biasanya menghadirkan animasi yang luar biasa untuk serial TV mereka. Makanya saya sedikit merasa janggal. Meski begitu, hal ini seharusnya tidak menganggu pengalaman menonton kalian.

Performa Seiyuu yang Mengagumkan

review-koe-no-katachi-1
Untuk Koe no Katachi, Kyoto Animation memilih berbagai seiyuu yang sudah ternama seperti Miyu Irino sebagai Shoya Ishida, Saori Hayami sebagai Shoko Nishimiya, Aoi Yuuki sebagai Yuzuru Nishimiya dan lainnya. Jadi performa masing-masing seiyuu-nya tidak perlu diragukan lagi. Tetapi bagi saya, performa Saori Hayami dalam film ini benar-benar bersinar
(mungkin sedikit bias karena saya fans berat). Karena Shoko adalah tuna rungu, tentunya Shoko tidak bisa berbicara dengan lancar karena tidak pernah mendengar kata-katanya. Di sini, Hayami berhasil memerankan Shoko dengan sempurna.

Verdict: Siapkan Hati/10

Meski ada beberapa kekurangan yang saya sebutkan, Koe no Katachi tetap adalah film anime yang sebaiknya tidak kalian lewatkan. Kekurangan-kekurangannya bisa dibilang tidak terlalu menganggu dan kalian bisa menikmati kisah drama yang cukup menyedihkan. Saya sendiri sempat meneteskan air mata ketika menonton film ini.
Source : JurnalOtaku

[Review] Kimi no Na wa

[Review] Kimi no Na wa

http://jurnalotaku.com/wp-content/uploads/2016/09/review-kimi-no-na-wa-2.png 

Setelah lihat banyak berita mengenai lakunya “Kimi no Na wa,” pastinya kalian makin penasaran dengan film terbaru dari Makoto Shinkai ini. Bahkan mungkin ada di antara kalian yang meminta beberapa bioskop di Indonesia untuk menayangkan film ini agar bisa dinikmati dalam layar besar.
Mungkin di antara kalian yang sadar bahwa saya menghilang selama 2 pekan kemarin. Selama 2 pekan kemarin, saya pergi ke Jepang untuk meliput Tokyo Game Show 2016, menonton konser Nana Mizuki, dan juga menikmati berbagai keindahan dan makanan Jepang. Tentunya saya menggunakan kesempatan ini untuk menonton Kimi no Na wa yang laku keras di Jepang.

Kisah Khas Makoto Shinkai

Dari sinopsis saja, kalian bisa tahu bahwa Kimi no Na wa menghadirkan cerita khas Makoto Shinkai tentang sepasang remaja laki-laki dan perempuan yang sulit untuk bertemu. Kimi no Na wa mengisahkan Taki yang tinggal di Tokyo dan Mitsuha yang tinggal di suatu desa. Ketika tidur, kadang tubuh mereka berdua tertukar. Hal ini membuat kehidupan mereka pun menjadi kacau karena kelakuan yang berbeda ketika bertukar tubuh. Karena itu, mereka berdua pun berjanji untuk mencatat seluruh kegiatan demi menjaga kehidupan mereka masing-masing.
review-kimi-no-na-wa-5
Sebisa mungkin saya tidak ingin memberi spoiler agar kalian bisa menonton film ini dengan puas. Dari segi durasi, film ini cukup panjang yaitu berdurasi 1 jam 46 menit. Durasinya lebih panjang dari Kumo no Mukou, Yakusoku no Basho dan lebih pendek dari Hoshi wo Ou Kodomo. Meski begitu, Makoto Shinkai sepertinya sudah belajar dari film-film yang dia kerjakan sebelumnya. Meski durasinya panjang, pacing kali ini jauh lebih baik sehingga membuat penonton tidak bosan.
Meski kali ini durasinya cukup panjang, Shinkai menggunakan seluruh waktunya dengan efisien untuk membuat kalian menjadi lebih dekat dengan Taki dan Mitsuha. Ceritanya pun disampaikan dari masing-masing sisi karakter, jadi kalian tahu bagaimana kehidupan di sekitar masing-masing karakter utama dan bagaimana pertukaran tubuh mulai mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
review-kimi-no-na-wa-1
Berkat ini, Kimi no Na wa benar-benar menghadirkan cerita yang lebih baik karena Shinkai menghabiskan waktu lebih banyak untuk kedua karakter utama sehingga penonton menjadi lebih peduli dengan keduanya dan penasaran bagaimana nasib mereka berdua di akhir film ini.
Penanganan karakter dan pacing cerita yang lebih baik ini membuat Kimi no Na wa menjadi lebih baik dibandingkan film-film Shinkai sebelumnya. Karya-karya Shinkai yang paling dikenal adalah Hoshi no Koe, Byousoku 5 cm, dan Kotonoha no Niwa. Ketiganya lebih sukses karena berdurasi lebih pendek yang sudah biasa ditangani oleh Shinkai. Sedangkan untuk Kumo no Mukou, Yakusoku no Basho dan Hoshi wo Ou Kodomo kurang begitu terkenal. Menurut saya pribadi, masalah yang ada dalam kedua film itu adalah penggunaan waktu yang kurang efisien untuk membuat kita peduli dengan karakter-karakternya.

Kualitas Animasi yang Tidak Perlu Diragukan

Selain cerita yang bikin kalian galau, anime yang dikerjakan oleh Makoto Shinkai selalu berupa eye-candy. Tentu Kimi no Na wa menghadirkan animasi yang sangat indah. Meski tema kali ini bukan hujan seperti di Kotonoha no Niwa, Kimi no Na wa masih menghadirkan adegan hujan yang sangat menakjubkan. Gerakan karakter pun sangat mulus, terutama pada saat adegan yang berhubungan dengan Mitsuha dan desanya.
review-kimi-no-na-wa-4
Meski sudah menghadirkan animasi yang indah, detil gambar pun tidak dilupakan. Masing-masing adegan terlihat dengan jelas dan kalian bisa mengenali seluruh obyek dengan mudah. Bahkan, pada saat di bagian akhir film-nya, teman saya yang ikut nonton mengenal daerahnya yang katanya berada di dekat kantornya di Jepang.

Verdict: Harus Nonton Lagi/10

Kenapa film ini bisa sangat laku di Jepang? Ternyata setelah menonton film ini saya jadi mengerti. Hype-nya sendiri pun tidak bohong. Pada awalnya, saya dan teman-teman ingin menonton siang hari atau malam, tetapi ternyata sudah penuh. Jadi terpaksa harus menonton jam pertama yaitu pada pukul 09:40. Meski jamnya masih pagi, ternyata penayangan pada jam pertama pun dipenuhi oleh penonton.
review-kimi-no-na-wa-3
Kalau kalian merasa review ini kurang detil, saya mohon maaf. Saya sendiri sebenarnya ingin menulis lebih detil tetapi takut spoiler karena saya merasa ini adalah karya terbaik Makoto Shinkai sejauh ini. Jadi saya ingin kalian bisa menonton film ini tanpa terlalu tahu banyak informasi mengenai filmnya agar kalian bisa menikmati filmnya secara maksimal. Pacing dan karakter jauh lebih baik dan menarik membuat film yang berdurasi hampir 2 jam ini tidak terasa selama itu. Saking bagusnya, saya ingin menonton film ini lagi, baik di bioskop atau dalam bentuk Blu-ray. Mudah-mudahan bioskop-bioskop di Indonesia ada yang mau menayangkan film ini.

source : JurnalOtaku

[Review] Re:Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu

[Review] Re:Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu

[Review] Re:Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu 

Subaru yang tegar. Pada arc terakhir seri ini, Subaru berada pada posisi paling menyedihkan karena harus bersujud kepada Crusch, direndahkan oleh Priscilla, hingga ditipu oleh Anastasia. Bagaimana tidak, Subaru menghadapi masa yang sangat sulit karena harus menghadapi kematian Rem yang sangat sadis dan Emillia berulang kali. Setelah menghadapi loop berulang kali, pada akhirnya Subaru berhasil membuat negosiasi antara Crusch dan Anastasia untuk melancarkan serangan ke witch cult untuk mencegah kematian Emillia, bahkan hingga memimpin pasukan tersebut setelah mengalahkan paus putih.

rezero-5
rezero-11
Menyenangkan sekali menyaksikan perubahan Subaru
Sebenarnya memang dari awal saya cukup membenci karakter Subaru, tetapi lewat perkembangan ini, rasanya saya tidak bisa menaruh benci lagi kepadanya. It’s way too cool and great!

Despair everywhere

rezero-10
Seperti yang saya bilang sebelumnya, anime ini bernuansa sangat gelap. Jangan tertipu dengan perkenalan tiap arc-nya karena tidak ada arc yang tidak mengandung despair! Apalagi jika kalian terlalu menaruh emosi kepada anime ini. Emosi kalian akan dimainkan ibarat sudah diangkat tinggi-tinggi ke langit untuk bahagia, kemudian dihempaskan ke bawah. Sama seperti lagi gacha yang dikira dapat emas di awal, tidak tahunya dapat ampas.
rezero-14
Sebuah ekspresi ketika mengetahui tanganmu putus dan jadi lumpuh
Meskipun level despair-nya tidak separah Madoka Magica atau Danganronpa karena masih ada adegan heart warming-nya, tetapi Re:Zero sukses membuat para penonton tegang dan terbawa dengan gelapnya anime ini, apalagi melihat ekspresi Subaru yang sedang putus asa total.  Selain itu lagu opening keduanya seakan seperti mimpi buruk yang merupakan pertanda betapa gelapnya anime ini.

Still have a lot of mysteries and holes

rezero-8
Meskipun menghadirkan cerita yang baik, sayangnya Re:Zero masih menyisakan misteri yang cukup banyak. Penjelasan mengenai dunia yang didatangi Subaru nyaris tidak ada. Para penonton hanya dihadirkan petunjuk-petunjuk untuk menggambarkan dunia tersebut. Padahal menurut saya hal ini krusial untuk sebuah anime dengan tema isekai.
Selain itu masih banyak misteri seperti hubungan sesungguhnya antara Emilia dan Puck, apa itu witch cult, mengapa hanya Subaru yang memiliki kekuatan untuk loop, apakah ada orang lain selain Subaru, apakah benar Felix seorang pria, dan masih banyak misteri lainnya. Biarpun begitu saya masih memaklumi karena Re:Zero sendiri masih lanjut di light novel-nya yang semoga saja dijelaskan ke depannya. Selain itu hal ini menimbulkan banyak spekulasi dan perdebatan di dunia maya yang tentu saja menarik untuk diikuti.

Verdict: Rem still best girl/100

rezero-18
Sudah lama saya tidak menonton anime yang seru seperti ini dan sukses membuat saya selalu on time mengikuti anime ini tiap minggunya. Re:Zero sukses memainkan emosi penonton dengan permainan pace yang sangat baik antara adegan heart warming dan despair sehingga tidak selalu membuat para penonton menjadi bosan atau terus menerus menjadi putus asa dan gagal move on. Saya bisa jamin kalian tidak akan bosan menonton Re:Zero tiap episodenya, dan yang berniat maraton, kabar buruk bagi kalian karena saya jamin kalian tidak akan bisa berhenti menontonnya. Bagaimana tidak, tiap episodenya bisa dibilang diakhiri dengan cliffhanger yang membuat tidak bisa menahan hasrat untuk menonton lanjutannya. Selain itu sangat menarik menyaksikan Subaru yang bisa dibilang mempunyai kemampuan apapun nyaris nol untuk dapat mengubah takdir yang mungkin tidak bisa diprediksi tiap orang.
Jadi apakah recommended untuk ditonton? Bagi kalian yang menyukai anime dengan cerita yang intens dan gelap, Re:Zero wajib ditonton. Tetapi buat kalian yang mencari anime healing, maka Re:Zero tidak disarankan karena bukannya healing malah akan membuat kokoro kalian lelah sendiri.
Pada akhirnya saya akan merindukan anime ini. Saya akan rindu rant mingguan baik dari teman saya dan saya sendiri saat menontonnya, dan membahas lebih dalam bersama teman-teman. Tidak lupa saling lempar spoiler.
rezero-17
rem-ww-5
Tim manakah kalian?
Signum
I have to admit, I belittled the series and its hype for awhile backI stopped watching it from episode 10 and picked it all up again on episode 24, I believe. Paradigma kalau sebuah seri yang over hype itu pasti ceritanya gitu-gitu doang sedikit banyak memberikan kesan kalau Re:Zero juga merupakan seri yang gitu-gitu doang. Tapi setelah saya maraton sampai episode 24, rasanya saya salah.
Tidak bisa dipungkiri lagi, center piece dari seri ini adalah Subaru, and they make a really, really good use of him. Dalam seri ini saya bisa merakan all sorts of emotions kepada sang protagonis. Mereka membuatnya sangat konyol, mereka juga membuatnya sangat menyebalkan. Kadang Subaru jadi seperti anak kecil, namun di episode berikutnya dia sudah bisa menjadi dewasa.
It’s normal to hate him sometimes, but please bear with him.
Cerita yang disuguhkan oleh Re:Zero sampai saat ini pun sangat menarik. Mereka tidak hanya memberikan sebuah protagonis yang sudah disukai oleh setengah wanita di seluruh dunia, they gave us one that’s sought for her. Juga bukan protagonis yang gampang terlena dengan wanita lain, although I think his intention on making Rem his number 2 is already clear as a day.
Re:Zero is good, very good, kamu tidak akan rugi waktu untuk menontonnya. Mungkin membaca novelnya juga akan jadi jauh lebih menarik. Also, I beg to differ, Rico. Emilia is the best girl, thank you.
Ryuukikun
Satu hal yang awalnya saya sangat benci dari seri ini adalah sang protagonis. Subaru memang sangat menyebalkan terutama pada episode-episode awal, tetapi saya tidak bisa berhenti menontonnya karena ceritanya yang membuat penasaran dan saya juga penasaran dengan bagaimana cara Subaru bisa mencari cara yang terbaik untuk menyelamatkan semua orang.
Seperti yang dikatakan Signum dan Rico, perkembangan karakter untuk anime ini sangatlah baik, terutama untuk Subaru. Kelakuannya pada awalnya yang sangat egois, mementingkan diri sendiri yang pada akhirnya bisa disadarkan dan menjadi seorang pria yang bisa diandalkan. Isu-isu yang diangkat dalam anime ini juga cukup menarik, seperti betapa rasisnya para penduduk kepada Emilia yang merupakan half-elf, persaingan para putri demi memperoleh takhta kekuasaan yang dipenuhi dengan intrik politik, dan yang paling menarik bagi saya adalah penceritaan anime ini layaknya menyelesaikan sebuah teka-teki. Setiap kali Subaru mengulang loop kematiannya, ia mendapatkan suatu fakta baru yang bisa ia gunakan untuk loop selanjutnya, terus berulang sampai akhirnya ia bisa menyelesaikan teka-teki tersebut.
Re:Zero sangat saya rekomendasikan, tapi mungkin agak tidak cocok untuk orang-orang yang tidak kuat menonton sesuatu yang membuat depresi. Adegan-adegan yang disuguhkan sering kali cukup sadis, sekaligus menggambarkan kebrutalan di dunia lain tersebut.
Oh, and definitely Rem is the best girl.
Randy
Bisa dibilang saya mulai menonton Re:Zero karena saya melihat hype di timeline FB saya dan di antara beberapa staf JOI. Walaupun sudah dengan hype segitu banyaknya, saya baru mulai menonton Re:Zero saat anime ini sudah tayang 16 episode. Ekspektasi saya cukup tinggi dan ternyata memang memuaskan.
Sama seperti yang dikatakan Ryuukikun, pada awalnya saya sangat membenci Subaru karena sifatnya yang indecisive dan bodoh. Tetapi semakin ke depan, perkembangan Subaru menjadi karakter yang lebih percaya diri membuat saya menjadi menyukainya. Ceritanya bisa dibilang cukup gelap walaupun masih banyak yang lebih gelap dari anime ini. Ending cliffhanger di setiap episodenya pun membuat saya semakin penasaran setiap satu episode selesai.
Mungkin untuk poin-poin jelek dari anime ini tidak dapat saya pikirkan. Bukan berarti tidak ada, tetapi saya menonton anime sebagai hiburan saja dan tidak terlalu mau memusingkan hal-hal negatifnya, kecuali memang benar-benar parah sampai tanpa saya pikirkan pun dapat terlihat sangat jelas.
Re:Zero sangat saya rekomendasikan kepada para penonton yang ingin menonton anime yang cukup serius. Di luar gaya gambarnya yang moe dan hype yang luar biasa, anime ini memberikan nuansa cukup segar bagi saya. Saya sendiri terakhir menonton anime serial TV sekitar dua tahun yang lalu, karena itu saya merasa sangat puas dengan keputusan saya untuk menyelesaikan Re:Zero.
Dan pastinya Rem best girl, dan Felix best trap.

Sumber : jurnalOtaku

 

[Review] Final Fantasy XV: Kingsglaive

[Review] Final Fantasy XV: Kingsglaive

[Review] Final Fantasy XV: Kingsglaive 

Seperti yang sudah kamu ketahui, pada tanggal 17 Agustus lalu, JOI bersama rekan-rekan media dan para pembaca yang beruntung berkesempatan untuk nonton bareng Final Fantasy XV: Kingsglaive di bioskop Cinemaxx, mal fX, Jakarta. Acara nonton bareng tersebut juga bisa diwujudkan dengan bantuan dari PSE sebagai sponsor utama. Buat yang belum PO game-nya, bisa PO game tersebut di PSE, loh. Jangan lupa ya.
Now that we’ve had that shameless advertising aside, let’s talk more about the movie.
Final Fantasy XV: Kingsglaive adalah sebuah film baru dari Square Enix dan Visual Works untuk memperkenalkan para penggemar ke dunia Final Fantasy XV yang masih juga di-delay. Bagi yang belum pernah bermain atau menonton Final Fantasy apapun sebelumnya, tenang saja karena saya pun belum pernah memainkannya (yes, please, sue me).
JOI - kingsglaive review (6)
Melihat dari kacamata seseorang yang tidak pernah bermain game Square Enix selain Kingdom Hearts dan menonton Final Fantasy VII: Advent Children, pada awalnya saya takut tidak akan bisa mengerti film ini. Namun tenang saja karena menurut saya siapapun bisa menontonnya. Kingsglaive tidak se-“elit” itu. Tapi apakah film ini layak untuk ditonton? Mari kita bahas bersama-sama.
Harap dimengerti sebagian review ini mengandung spoiler, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Silahkan melanjutkan membaca dengan kesadaran penuh atas informasi ini.

Poor storytelling

Sebagai film prekuel yang tidak dibintangi oleh Noctis, film ini mengusung Nyx Ulric, seorang Kingsglaive (tl: pedang raja) yang dibentuk oleh raja Regis untuk memerangi pasukan Niflheim yang menyerang daerah milik kerajaan Lucis. Mereka bertarung menggunakan kekuatan sihir yang terhubung langsung kepada sang raja dan dapat melakukan teleport (which will confuse a lot of people) dan melancarkan serangan-serangan sihir lain.
JOI - kingsglaive review (5)
Now don’t get me wrong, bukan artinya FF XV: Kingsglaive memiliki cerita yang buruk, tetapi lebih kepada penceritaan yang terlalu terburu-buru. Saking terburu-burunya, saya menonton film ini menganggap kalau sebenarnya film tersebut adalah potongan-potongan cut scene dari game-nya yang dijahit menjadi sebuah film. Bagi saya, FF VII: Advent Children bercerita lebih banyak dalam waktu yang relatif sama.
Penjelasan mengenai kerajaan Lucis maupun Niflheim terasa terlalu singkat dan terlalu cepat, bagi para penonton, rasanya sulit untuk mencerna seluruh informasi tersebut. Apalagi setelah itu cerita langsung bersambung ke pertarungan yang jujurnya terlalu cepat untuk dilihat oleh mata manusia. Banyaknya karakter yang muncul di awal cerita juga membuat saya bingung ini siapa, itu siapa, ngapain kalian, woy pelan dikit napa.
JOI - kingsglaive review (7)
Pada akhirnya film ini juga punya beberapa momen-momen pelan yang membuat saya bisa mengaitkan sekelebat informasi yang dikebut di awal kepada alur cerita berikut-berikutnya.

CG-riffic battles

Bila ada sebuah redeeming point yang dimiliki oleh film ini, tentu hal tersebut berada di kualitas CG-nya. Di beberapa tempat memang terlihat seperti CG cutscene dalam game yang seharusnya dipoles lebih baik lagi untuk ditayangkan di layar lebar. Namun bila ada yang harus saya acungi jempol adalah pertarungan-pertarungan para Kingsglaive dengan pasukan Niflheim.
JOI - kingsglaive review (4)
Basicallythe fight is easily the best part of this movie. Bayangkan kamu punya sekelompok orang yang bertarung menggunakan magicthrowing flames and lightning around, creating a great firestorm all the while possessing a blink dagger that never runs out. Kamu pernah main DotA? Tentu kamu tahu tentang blink dagger. Bayangkan sebuah blink dagger yang tidak punya cooldown and you’re set to go.
Efek-efek yang ditampilkan oleh film ini sangat memanjakan mata, mulai dari hancurnya gedung-gedung sampai efek terbakarnya sedikit pakaian mereka karena percikkan api saat mereka bergerak begitu cepat. Convenient teleport is convenient indeed.
JOI - kingsglaive review (2)
Sayangnya karena begitu banyaknya teleport yang terjadi dalam pertarungan ini, mungkin matamu belum bisa menyesuaikan kepada pertarungannya di awal film. Mungkin ada baiknya kamu menonton Naruto sebelum menonton Kingsglaiveyou know, they move like one.
Namun di lain pihak, pergerakan para karakter dalam filmnya pun terlihat sangat halus dan bergerak dengan sangat fluid. Hal ini dikarenakan film ini diambil menggunakan teknik motion capture dimana benar-benar ada orang asli yang bergerak untuk adegan-adegan dalam film. Mereka bahkan menggunakan sebuah alat khusus untuk merekam ekspresi masing-masing pemainnya.
JOI - kingsglaive review (3)
Juga jangan takut bagi para cosplayer, sutradara Takashi Nozue juga berkali-kali berkonsultasi kepada para hairstylist mengenai rambut-rambut dari para karakter yang tampil di film Kingsglaive. Dia ingin supaya rambut-rambut tersebut juga bisa dibentuk di dunia nyata tanpa bantuan wig.

CG-riffic Gundams

Seri Final Fantasy tidak lengkap bila tidak ada monster-monster oversized, who’ll serve as the biggest annoyance to the main characters. Masih ingat saat Bahamut datang mengamuk di FF VII: Advent Children? Saat itu dia hanya mengamuk di sebagian kecil filmnya, benda apapun yang mengamuk di Kingsglaive mengamuk sampai akhir.
JOI - kingsglaive review (9)
Namun bila saat itu Cloud dan kawan-kawan epically mengalahkan Bahamut, Kingsglaive punya beberapa gundam yang akan bertarung melawan makhluk yang disebut Daemon oleh kerajaan Niflheim. Saya tidak ingin men-spoiler lebih jauh jadi lebih baik kamu tonton sendiri untuk melihat betapa majestic-nya adegan tersebut.

Verdict: “Hero”/10

You’ll hear “hero” quite a lot in the film, and I do feel like the ending is that fitting for a hero. FF XV: Kingsglaive mungkin bukanlah film dengan cerita yang terbaik atau memiliki penceritaan yang dapat membuatmu menikmatinya. Pace dan ceritanya juga bukan yang terbaik, namun mereka cukup berhasil dalam mendeskripsikan karakter masing-masing.
JOI - kingsglaive review (8)
Cerita memang bukan fokus utama film ini. Bagi saya pertarungan ekstra panjang di akhir film ini membuat saya merasa kalau film ini, it’s all on the CG. Secara keseluruhan, Square Enix dan Visual Works mempersembahkan karya yang sangat indah. World building dan desain kostum khas mereka yang eye pleasing menjadi faktor utama kenapa saya ingin melihat film ini.
Stunning is an understatement bila melihat desain kota Insomnia, and I can’t stress that enough. Bila
kamu senang menonton film dengan dunia fantasi yang luar biasa keren, kamu harus mencoba menonton FF XV: Kingsglaive. CG yang disuguhkan dijamin bisa membuat matamu segar untuk kabur dari dunia sehari-hari. Tapi hati-hati, film ini bisa membuatmu keracunan ingin beli konsol baru dan game PS4-nya.

Sumber : JurnalOtaku

 

Review Film : Erased (2016)



“I want to believe.”
— Satoru Fujinuma
 Time-travel adalah premis yang menarik namun juga pelik untuk diangkat menjadi sebuah film. Akan selalu timbul pertanyaan tentang paradoks dan azas sebab-akibat. Erased menambah kerumitan tersebut dengan elemen misteri pembunuhan. Materi seperti ini berpotensi menjadi produk yang kacau, dan benar saja, Erased adalah film potensial yang berakhir kacau.

Yang lebih mengecewakan adalah fakta bahwa filmnya diangkat dari materi yang sangat bagus. Manga-nya yang berjudul asli Boku Dake Ga Inai Machi cukup sukses di Jepang (mendapat nominasi Manga Taisho Award dan Tezuka Osamu Cultural Prize), sementara adaptasi animenya merupakan satu yang terbaik di musim lalu. Dibandingkan adaptasi manga/anime lain seperti Assassination Classroom dan Attack on Titan, Erased sebenarnya lebih cinema-ready karena plotnya yang lurus dan tak episodik. Pembuat filmnya sepertinya tak tahu daya tarik utama dari materi orisinal, lantas malah mengabaikannya.



Tentu saja ada beberapa perubahan minor yang dilakukan agar transisi alurnya berjalan lebih mulus dan filmnya mencapai durasi ideal, seperti penghilangan beberapa karakter yang disoroti di manga/anime atau pemangkasan subplot pembangunan chemistry. Sayangnya, hal serupa juga diterapkan pada motif dan backstory antagonis yang sebenarnya cukup krusial bagi klimaks film.

Ceritanya masih berfokus pada Satoru (Tatsuya Fujiwara), seorang komikus tak sukses yang bekerja paruh waktu sebagai pengantar pizza. Satoru punya kemampuan unik yang disebut "Revival / Pengulangan" yang membuatnya bisa kembali ke masa lalu. Sayang, dia tak begitu bisa mengontrolnya. Kekuatan ini hanya muncul saat ada orang di sekitar yang terancam bahaya. Lagipula kemampuannya terbatas, hanya "mengulang" beberapa menit saja waktu di masa lalu untuk mencegah bahaya itu terjadi.

Namun, ketika sang ibu (Yuriko Ishida) dibunuh oleh seseorang dan ia ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka, Satoru ternyata tak hanya "mengulang" beberapa menit, melainkan terlempar jauh hingga ke 18 tahun sebelumnya, saat ia masih duduk di bangku SD. Satoru percaya ini adalah pertanda bahwa kasus pembunuhan ibunya berhubungan dengan kasus penculikan dan pembunuhan 3 teman sekelasnya yang terjadi di tahun 1988. Salah satu korban adalah Hinazuki (Rio Suzuki), gadis kecil yang tinggal bersama keluarganya yang abusif.

Mekanisme time-travel-nya mirip dengan film The Butterfly Effects, dimana setiap perubahan tindakan yang dilakukan di masa lalu mengubah peristiwa di masa kini. Sama seperti film tersebut, kausalitas dalam Erased hanya mempengaruhi karakter-karakter utama. Saat perubahan ini tak sesuai harapan, Satoru harus mencari cara untuk memperbaikinya lagi. Di timeline manapun, ia terlibat masalah. Di masa lalu, ia memburu (calon) pembunuh sahabatnya, sementara di masa kini ia harus kabur dari buruan polisi.

Dengan cerita yang sebagian besar mengambil tempat di masa lalu, Fujiwara mendapat porsi yang tak begitu dominan, seperti halnya Kasumi Arimura yang berperan sebagai Airi, rekan kerja Satoru. Yang patut disoroti adalah para aktor mungil, termasuk Tsubasa Nakagawa sebagai Satoru kecil yang berhasil tampil dewasa, menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang pria dewasa yang terjebak dalam tubuh anak kecil.

Bagi yang sudah kenal dengan materi aslinya, tentu tahu bahwa Erased adalah melodrama tentang kesendirisn, persahabatan, cinta dan keluarga. Esensi manga/anime Erased memang lebih condong ke drama dibanding misteri atau tema time-travel-nya. Namun kedua versi tersebut tak lantas melupakan elemen lainnya. Narasi yang berlapis dibuat dengan telaten dan diceritakan sedemikian rupa, mencengkeram perhatian. Naskah film yang ditulis oleh Noriko Goto terlalu dangkal untuk mengikat penonton. Alur yang bolak-balik menjadi membingungkan karena sutradara Yuichiro Hirakawa tak punya kerangka yang jelas dalam mempersentasikan perpindahan timeline.

Namun yang paling tidak bisa saya toleransi adalah konklusinya yang sungguh bodoh. Saya tak mempermasalahkan ending-nya yang berbeda dengan versi manga (FYI, versi anime juga punya ending tersendiri). Sang komikus Kei Sambe kabarnya memberikan kebebasan bagi penulis naskah dan sutradaranya. Tak hanya nonsens dan berisi banyak plot hole yang akan membuat anda garuk-garuk kepala, namun penutup ini tujuannya tak lebih dari sekadar memberikan bobot sentimentalitas yang manipulatif. I don't buy that.

Source : UlasanPilem.com

Review Film : Swiss Army Man



"If my best friend hides his farts from me then what else is he hiding from me, and why does that make me feel so alone?"
— Manny
unggu dulu. Biarkan saya cek sebentar. Yep. Tak salah lagi. Film ini merupakan salah satu film dengan premis terabsurd sepanjang pengalaman saya mengonsumsi film. Dan absurd-nya bukan sembarang absurd. Saya tak perlu mengingat terlalu jauh untuk memastikan bahwa Swiss Army Man termasuk ke dalam lima besar film absurd paling-receh-tapi-digarap-dengan-serius yang pernah saya tonton sejauh ini.

Jika anda pernah mendengar kabar burung bahwa Swiss Army Man adalah "farting corpse movie", burung tersebut tak salah obral omongan. Secara sederhana, Swiss Army Man adalah film tentang "mayat hidup yang kentut". Kentutnya bukan sembarang kentut. Kekuatannya mencapai 150 tenaga kuda. Namun jika anda membiarkan premis edan ini (dan kegilaan-kegilaan lain) menyerang logika anda, filmnya kemungkinan besar akan merasuk ke dalam sanubari dan menyentuh perasaan anda, karena ia punya subteks yang serius.



Ini adalah jenis film aneh yang belum pernah saya lihat sebelumnya, hingga tak bisa saya kotak-kotakkan ke dalam genre tertentu. Selera humornya akan membuat sebagian penonton girang dan sebagian lagi mendelik jijik. Komedinya intentional, tapi Swiss Army Man merupakan film serius tentang persahabatan dan kesendirian yang digerakkan oleh sepasang karakter unik yang menjalin persahabatan tak biasa.

Belumlah 10 menit film berjalan, kita sudah mendapat gambaran gamblang akan seeksentrik apa filmnya nanti. Tanpa penyebab yang jelas, diceritakan bahwa Hank (Paul Dano) terdampar di sebuah pulau setelah sekian lama. Sebagaimana terlihat dari tulisan-tulisannya di pelbagai barang-barang yang dibuangnya ke laut, Hank sudah kehilangan harapan.

Saat akan menggantung dirinya sendiri, tiba-tiba Hank melihat sesosok tubuh di pinggir pantai. Sosok tersebut adalah sebuah (seorang?) mayat, yang tampaknya sudah tak bernyawa hingga kemudian Hank menemukan bahwa mayat ini punya kentut yang spesial. Tak butuh waktu lama, kita menyaksikan Hank mengendarai mayat tersebut layaknya jetski (dengan kentut sebagai bahan bakarnya) untuk menyeberang menuju daratan.

Mayat ini (Daniel Radcliffe) diberinya nama Manny. Manny benar-benar memenuhi karakteristik "mayat hidup". Tubuh fisiknya sudah mati, namun ia bisa berinteraksi dengan Hank yang mulai mengajarinya bahasa, kehidupan sosial, asmara, lagu tema Jurassic Park hingga wanita, seks atau masturbasi. Meski secara teknis ia adalah mayat, tapi saat melihat tubuh model dalam balutan bikini, Hank punya sesuatu (atau DUA) bagian tubuh yang masih berdenyut.

Swiss Army adalah nama sebuah pisau khas serbaguna. Tak mengkhianati judulnya, Manny adalah "manusia" serbaguna. Dengan memanfaatkan bagian tubuhnya, Hank berhasil bertahan hidup di hutan, entah itu sebagai sumber air minum, membelah kayu, menyalakan api hingga kompas. Mekanismenya silakan anda tonton langsung, karena ini merupakan kesenangan tersendiri yang ditawarkan oleh filmnya.

Hank juga mengajari Manny jatuh cinta, sesuatu yang menjadi obsesi tersendiri bagi Hank. Salah satu adegan paling menarik adalah saat Hank mereka-ulang pengalaman naik bis dan mengajak Manny bertemu dengan pacar fantasinya yang diberi nama Sarah (ijinkan saya menaruh nama Mary Elizabeth Winstead disini). Dengan kreatif, Hank yang berpura-pura menjadi wanita, merancangnya menggunakan properti seadanya (alias sampah) yang ada di hutan. Apakah Manny ini benar-benar nyata atau hanya Hank saja yang kelewat stres hingga bercakap-cakap dengan mayat? Jangan dipikirkan. Tak ada logika dalam campuran manis antara komedi dan tragedi ini.

Penulis dan sutradaranya adalah "Daniels", duo yang terdiri dari Daniel Kwan dan Daniel Scheinert, yang mana merupakan kreator di balik video klip edan "Turn Down For What"-nya DJ Snake dan Lil Jon. Saya tak tahu apakah lagu itu punya makna lebih dalam, namun ada sensitivitas dalam Swiss Army Man. Scoring menyatu dengan alami terhadap film. Diisi oleh Manchester Orchestra, lagu-lagu akapela yang melankolis menjadi perantara penceritaan dan penyeimbang atmosfernya yang absurd. Disini mereka juga menunjukkan gaya visual yang unik. Kamera bergerak dinamis dan ada beberapa adegan slow-motion yang dengan efektif memberi penekanan adegan akan bobot emosional.

Dano adalah aktor yang kerap bermain sebagai karakter nyentrik yang nyaris antisosial dalam beberapa film, dan persona tersebut sangat cocok dengan karakterisasi Hank. Dengan pembawaan yang seringkali subtil, kita bisa merasakan kesendirian dan hasrat terpendamnya untuk berinteraksi dengan dunia sekitar. Mungkin menjadi peran paling memalukan sepanjang karirnya, Radcliffe bermain bagus sebagai mayat hidup (dan ini bukan ledekan). Semakin dekat hubungannya dengan Hank, Manny perlahan mulai seperti hidup kembali. Ia pula yang nantinya memberi pelajaran berharga bagi Hank melalui sindiran akan kebiasaan Hank menahan kentut. Tak setiap hari kita mendapat pesan moral yang berhubungan dengan kentut.

Sebuah film tentang filosofi kentut, Swiss Army Man juga ditutup dengan ending tentang kentut paling menyentuh sepanjang masa. Seruan "WTF" susah untuk tak terlontar. Film ini persis kentut. Kita mungkin berusaha melawannya, tapi pada akhirnya, ia tak bisa ditahan.

Source : UlasanPilem.com

Rekomendasi Film By UlasanPilem.Com


Bulan Oktober identik dengan Halloween, dan tentu saja bulan ini akan diisi oleh beberapa film horor. Salah satunya adalah film horor fenomenal dari negeri sebelah. Namun bagi anda penggila blockbuster, jangan kecewa dulu. Sebab Oktober tetap punya sajian tersebut. Ada pula film animasi, superhero (pastinya), anime serta dokumenter band legendaris.

Kategori film lokal diisi dengan pilihan yang tak kalah variatif. Mulai dari film horor, drama keluarga, romance remaja, hingga komedi bertema kedokteran.

Mari kita lihat apa saja rekomendasi UlasanPilem di bulan ini. Perlu diingat bahwa rekomendasi ini bersifat subyektif dan referensinya saya susun berdasarkan faktor eksternal film. Tentunya, saya tak bisa menjamin kualitas film yang direkomendasikan sebelum ditonton.





Baiklah, berikut daftar rekomendasi bulan ini.

#01 Munafik

Tayang: 5 Oktober

Merupakan film horor produksi Malaysia, Munafik adalah film Melayu terlaris sepanjang masa tak hanya di kampung halamannya, namun juga di Brunei dan Singapura . Menilik kesuksesannya disana dan didukung kehebohan di media sosial, MD Pictures memboyong filmnya untuk ditayangkan di layar lokal. Saya mengerti keputusan ini. Filmnya yang mengangkat tema islami memang sangat cocok dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah muslim.

Munafik merupakan film kedua dari sutradara Syamsul Yusof yang sekaligus bermain sebagai tokoh utama disini. Ceritanya mengenai seorang ustad yang dimintai tolong untuk merukyah seorang wanita, sementara ia sendiri harus berkutat dengan kesedihan karena kematian sang istri. Kabarnya, Syamsul melakukan riset selama 2 bulan agar konten filmnya tak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sutradara Syamsul Yusof
Pemain Syamsul Yusof, Nabila Huda, Fizz Fairuz


#02 Ben-Hur

Tayang: 5 Oktober

Ini dia satu lagi judul yang termasuk dalam daftar panjang remake kontemporer dari Hollywood. Well, sebenarnya Ben-Hur versi 2016 adalah adaptasi film kelima sih. Paramount sendiri mengklaim bahwa film ini adalah reinterpretasi, bukan remake. Yang manapun, tetap saja kita tak bisa untuk tak tergoda untuk membandingkannya dengan versi 1959 yang memenangkan 11 Oscar.

Namun perlu diingat bahwa film ini disutradarai oleh Timur Bekmambetov (Wanted, Abraham Lincoln: Vampir Hunter) yang sudah menjadi indikasi kuat bahwa filmnya takkan mencapai level yang sama dengan pendahulunya. Film ini sudah tayang sejak dua bulan lalu di Amerika dan gagal total secara komersial. Ekspektasi saya tak tinggi. Saya hanya berharap film ini menjadi popcorn blockbuster yang seru. Mungkinkah Bekmambetov bisa menciptakan sekuens yang mengalahkan adegan balapan kereta kuda yang epik itu? Entahlah. Dengan bantuan CGI, semua menjadi mungkin.

Sutradara Timur Bekmambetov
Pemain Jack Huston, Toby Kebbell, Rodrigo Santoro


#03 Wonderful Life *

Tayang: 13 Oktober

Wonderful Life mungkin merupakan karya debut dari sutradara Agus Makkie. Tapi coba tengok siapa yang mendukungnya dari balik layar. Di posisi produser ada Angga Dwimas Sasongko (Cahaya dari Timur, Filosofi Kopi, Surat dari Praha), sedangkan naskah ditulis oleh Jenny Jusuf yang pernah memenangkan Piala Citra untuk skenario adaptasi terbaik bagi film Filosofi Kopi.

Diangkat dari novel berjudul sama, Wonderful Life dibintangi oleh Atiqah Hasiholan sebagai Amalia, seorang ibu yang anaknya adalah penderita disleksia. Tak hanya berurusan dengan hal tersebut, Amalia juga harus berkutat dengan konflik batin dan traumanya sendiri. Sinopsisnya ditutup dengan kalimat: "kemungkinan terburuknya: kehilangan Aqil". Expect a lot of tearjerking moments.

Sutradara Agus Makkie
Pemain Atiqah Hasiholan, Sinyo


#04 The Accountant

Tayang: Oktober

The Accountant awalnya direncanakan rilis pada Januari 2017, bulan yang biasanya menjadi jadwal "pembuangan" film-film murahan. Warner Bros tampaknya cukup pede dengan film ini sehingga mengganti jadwal tayangnya ke bulan Oktober yang notabene merupakan awal dari awards season. Mungkinkah filmnya sebagus itu?

Ben Affleck bermain sebagai Christian Wolff, seorang ahli matematik yang memilih pekerjaan sebagai akuntan forensik bagi organisasi kriminal. Saya tak tahu apa artinya "akuntan forensik" namun melihat posternya dimana Affleck menenteng senapan serta sinopsis yang menyertakan "involves millions of dollars, the body count starts to rise", saya yakin filmnya akan menjadi drama kriminal yang brutal.

Sutradara Gavin O'Connor
Pemain Ben Affleck, Anna Kendrick, J.K. Simmons


#04 Bridget Jones's Baby *

Tayang: Oktober

Terlepas dari kualitasnya, dua film Bridget Jones sebelumnya sukses besar di box office. Bridget Jones mengumpulkan total $282 juta, sementara Bridget Jones: Edge of Reason meraup $260 juta. Dengan respon kritikus yang hampir sepositif film pertamanya, Bridget Jones's Diary siap menuai kesuksesan komersial yang sama. Hingga saat ini saja (1 bulan penayangan), filmnya telah memperoleh $120 juta.

Renee Zelweger dan Colin Firth kembali bermain sebagai Bridget dan Mark Darcy. Yang membawa konflik kali ini bukan lagi Hugh Grant melainkan Patrick Dempsey yang memerankan karakter Jack Qwant, pria yang kemungkinan merupakan ayah kandung dari (calon) bayi Bridget.

Sutradara Sharon Maguire
Pemain Renee Zellweger, Colin Firth, Patrick Dempsey


#05 Jack Reacher: Never Go Back

Tayang: Oktober

Apapun karakternya, entah itu Ethan Hunt atau Jack Reacher, saya selalu melihat Tom Cruise sebagai Tom Cruise. Dan saat saya melihat nama Tom Cruise di poster film, saya selalu menduga bahwa filmnya akan menampilkan adegan aksi dan stunt spektakuler yang dibawakan sendiri oleh Tom Cruise. Film pertama Jack Reacher mungkin tak terlalu seperti itu, namun jika trailernya tak menipu, Jack Reacher: Never Go Back akan menjadi wadah bagi Cruise untuk kembali gila-gilaan.

Masih diangkat dari novel karya Lee Child, Jack Reacher awalnya mengunjungi markas militernya dulu, tapi ia malah dituduh sebagai pembunuh anak di bawah umur. Dalam film ini, kursi sutradara yang ditinggalkan oleh Christopher McQuarrie (yang hanya bertindak sebagai produser) diambil alih oleh Edward Zwick. Ini akan menjadi kolaborasi kedua antara Zwick dan Cruise setelah The Last Samurai.

Sutradara Edward Zwick
Pemain Tom Cruise, Cobie Smulders, Patrick Heusinger


#06 Inferno

Tayang: Oktober

Saya adalah salah satu dari segelintir orang yang mungkin sangat menantikan saga terbaru dari ahli simbol, Robert Langdon setelah The Da Vinci Code dan Angels & Demons. Saya tahu, petualangannya terlibat dalam berbagai konspirasi besar seperti Illuminati, Opus Dei atau Freemason agak-agak menggelikan. Namun, sungguh menarik melihat Langdon (dan teman-temannya) berlarian keliling dunia dengan ekspresi superserius memecahkan berbagai kode dan misteri.

Kekecewaan saya karena buku ketiganya, The Lost Symbol tak difilmkan, sedikit terobati dengan kembalinya kru inti dalam film ini. Tom Hanks kembali bermain sebagai karakter utama, sementara Ron Howard masih duduk di kursi sutradara. Ikut bermain Felicity Jones, Omar Sy dan Irrfan Khan.

Sutradara Ron Howard
Pemain Tom Hanks, Felicity Jones, Irrfan Khan


#07 The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years *

Tayang: Oktober

Inferno bukan satu-satunya dari sutradara Ron Howard yang dirilis bulan ini. Ada film dokumenter dari The Beatles yang berjudul The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years. Film ini menyoroti karir mereka dari tahun 1962 hingga 1966, dimulai dari penampilan mereka di klub Cavern, Liverpool hingga konser terakhir mereka di San Fransisco.

Dalam proses produksinya, Howard juga bekerjasama langsung dengan dua personil yang masih tersisa: Paul McCartney dan Ringo Starr serta istri John Lennon, Yoko Ono dan istri George Harrison, Olivia Harrison. Jika alasan nostalgia dengan salah salah satu band terbesar di dunia ini belum cukup meyakinkan anda untuk menonton, perlu diingat bahwa film ini mendapat nilai RottenTomatoes "96%".

Sutradara Ron Howard
Pemain The Beatles


#08 Catatan Dodol Calon Dokter

Tayang: 27 Oktober

Melihat trailernya yang terkesan generik, awalnya saya tak tahu kenapa hype Catatan Dodol Calon Dokter begitu tinggi di media sosial. Mungkinkah karena filmnya diisi oleh bintang-bintang manis seperti Adipati Dolken dan Tika Bravani? Namun, ternyata produksinya tak main-main. Gugel memberitahu saya bahwa film ini merupakan ko-produksi dari Radikal Films dan CJ Entertainment (dari Korea) yang dikabarkan berniat merilis filmnya di beberapa pasar luar negeri. Film yang disingkat menjadi CADO CADO ini juga terpilih untuk tayang pada Tokyo International Film Festival 2016.

Sutradaranya adalah Ifa Ifansyah, sutradara yang filmografinya sebagian besar diisi film serius seperti Sang Penari, 9 Summers 10 Autumns, Pendekar Tongkat Emas, dan Pesantren Impian. Diangkat dari novel laris, tak perlu diperdebatkan lagi bahwa bukunya ditulis oleh calon dokter. Syuting film dilakukan di RS Siloam Semanggi dan kabarnya, tim medis dari rumah sakit tersebut ikut terjun langsung sebagai konsultan agar elemen medisnya akurat.

Sutradara Ifa Ifansyah
Pemain Adipati Dolken, Tika Bravani, Aurellie Moeremans


#09 Doctor Strange

Tayang: Oktober

Dalam episode "eksperimen" Marvel kali ini, ada Doctor Strange, superhero paling mistis yang pernah tampil di layar lebar. Sejauh ini, produk coba-coba dari Marvel tak pernah gagal, bahkan film dengan konsep aneh semacam Ant-Man dan Guardians of the Galaxy pun cukup sukses.

Dalam membangun Cinematic Universe-nya, Marvel paling bisa untuk urusan memilih deretan pemainnya. Lihat saja nama-nama top seperti Benedict Cumberbatch, Chiwetel Ejiofor, Rachel McAdams, Mads Mikkelsen dan Tilda Swinton, yang kemungkinan besar tak pernah anda duga akan bermain dalam film superhero. Sebagaimana terlihat dari trailernya yang memusingkan dan dreamy ala Inception, film ini setidaknya akan menawarkan sajian visual yang berbeda dari film Marvel yang sudah-sudah.

Sutradara Scott Derrickson
Pemain Benedict Cumberbatch, Chiwetel Ejiofor, Rachel McAdams


#10 Trolls

Tayang: Oktober

Trolls (mungkin) merupakan satu-satunya film animasi yang dirilis bulan ini. Bahkan, Indonesia mendapat keistimewaan menjadi salah satu negara dengan jadwal perilisan yang lebih awal dari Amerika, yang baru akan tayang pada November mendatang. Boleh jadi, film ini akan menghasilkan franchise baru bagi Dreamworks, setelah Shrek, Madagascar, How to Train Your Dragon dan Kung Fu Panda.

Film yang diangkat dari boneka yang sempat populer di era 80-an ini akan mengambil ranah musikal, sehingga, tentu saja, deretan pemainnya diisi oleh aktor yang juga akrab dengan dunia musik. Anna Kendrick (dari Pitch Perfect) dan Justin Timberlake (saya tak perlu menjelaskan siapa ini) akan berperan sebagai karakter utama. Ikut bermain pula musisi seperti Gwen Stefani, Meg DeAngelis dan Icona Pop.

Sutradara Mike Mitchell, Walt Dohrn
Pemain Anna Kendrick, Justin Timberlake, Zooey Deschanel


Bulan ini (kemungkinan) akan tayang pula film horor Blair Witch dari sutradara Adam Wingard, thriller Snowden dari Oliver Stone, film fantasi Mandarin A Chinese Odyssey: Part Three, film Bollywood Mirzya, horor-komedi Yoga Hosers dari Kevin Smith, serta anime Crayon Shin-chan: Fast Asleep! Dreaming World Big Assault!.

Selain film di atas, film-film seperti misteri-thriller The Girl on the Train yang dibintangi Emily Blunt, drama historis Birth of a Nation dari Nate Parker, komedi Keeping Up with the Joneses yang dibintangi Gal Gadot dan Zach Galifianakis, serta beberapa film festival seperti Moonlight, In the Valley of Violence dan Certain Women juga dirilis bulan ini di Amerika. Namun kemungkinan besar belum akan rilis disini dalam waktu dekat.

Film lokal lain yang juga akan tayang diantaranya Humor Baper, Ada Cinta di SMA, Sunya, Pinky Promise, Me vs Mami, dan Dear Love..
Catatan: Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu. Penayangan tergantung distributor film, jadi saya tak bisa memberikan tanggal pasti. Untuk melihat jadwal tayang pasti silakan klik disini.

Source : UlasanPilem.com

Review Film: 'Miss Peregrine's Home for Peculiar Children' (2016)

Terkadang terlintas pemikiran bahwa dalam 'Miss Peregrine's Home for Peculiar Children', Tim Burton lebih peduli dengan konsep dan tata produksi dibanding narasi.

“If only it had been that simple.”
— Miss Peregrine
Saat membaca nama Tim Burton di atas judul Miss Peregrine's Home for Peculiar Children, kita tahu bahwa kita pasti akan memperoleh sesuatu yang istimewa dari filmnya, meskipun ini merupakan adaptasi novel young-adult (YA) populer yang notabene konsepnya begitu-begitu saja. "Tim Burton's [masukkan judul disini]" menjadi merek yang bisa dijadikan alasan untuk meredam kejenuhan kita akan adaptasi novel YA.

Tak begitu membantu ketika naskah yang ditulis oleh Jane Goldman penuh sesak, diisi dengan plot yang padat, serta banyak penjelasan dan dialog teoritis. Seringkali narasi terhenti agar karakternya memberi penjelasan pada karakter lain (dan penonton, pastinya). Sama seperti semesta YA lain, Miss Peregrine's Home for Peculiar Children mengandung mitologi yang kompleks dan bahkan setelah berbagai macam penjelasan tersebut, saya masih garuk-garuk kepala.


Bukunya (yang tidak saya baca) ditulis oleh Ransom Riggs dan disebut-sebut sebagai materi yang sangat pas dikawinkan dengan gaya eksentrik Burton. Ini tercermin jelas dalam film, entah karena novel Riggs memang seinventif itu atau sihir Burton-lah yang bekerja. Fim ini adalah film terdekat yang bisa kita dapatkan seandainya Burton menangani superhero movie (setelah Batman Returns) dengan gaya khasnya. Bayangkan X-Men versi gothic.

Burton adalah sutradara visual yang luar biasa. Jarang sekali ada sutradara yang bisa mereka semesta fantasi segamblang dan seimajinatif dia. Filmnya enak dilihat dan anda bisa dengan mudah menemukan sentuhannya yang layak dikagumi. Bagian terbaik dari film ini adalah di paruh pertama, saat kita diperkenalkan dengan dunia dan karakter yang eksentrik.

Awalnya, cerita bertempat di Florida. Jake (Asa Butterfield) adalah seorang anak yang besar dengan cerita-cerita mengenai monster dan kekuatan magis dari kakeknya, Abe (Terence Stamp). Sang kakek mengaku pernah tinggal di sebuah rumah di Wales yang dihuni oleh anak-anak dengan kemampuan istimewa. Ketika sang kakek ditemukan tewas dengan tragis, Jake ingin mencari jawaban. Meski mulanya ditentang oleh orangtuanya (Chris O'Dowd dan Kim Dickens), Jake yang mendapat sokongan dari psikiaternya (Allison Janey) berangkat menuju Wales.

Yang ditemukan Jake adalah sebuah rumah yang hancur karena dibom oleh Jerman pada Perang Dunia II. Namun ia kemudian mendapati bahwa ini adalah kamuflase. Sang pengasuh rumah, Miss Peregrine (Eva Green) ternyata adalah seorang ymbrine yang punya kemampuan untuk berubah jadi burung dan, yang lebih penting, bisa memanipulasi waktu. Rumah tersebut dan seisinya aman dalam sebuah "lingkaran waktu / time-loop" yang berulang setiap 24 jam.

Diantara para penghuni ada Emma (Ella Purnell) yang bisa melayang sehingga harus selalu memakai sepatu besi yang berat, Milllard (Cameron King) yang tak kasat mata, Enoch (Finlay McMillan) yang bisa menghidupkan benda mati dan Hugh (Milo Parker) sang manusia lebah. Ada pula anak yang bisa memproyeksikan mimpi, gadis kecil dengan mulut penuh taring di belakang kepala, si kembar dengan penutup wajah yang seram serta bocah yang lebih kuat daripada The Rock.

Atmosfer filmnya yang serius menyerempet campy seperti halnya Dark Shadows, khususnya saat kita melihat penampilan Samuel L. Jackson yang over-the-top sebagai Barron, pemimpin kaum Hollowgast yang bermaksud memburu anak-anak istimewa. Ada begitu banyak yang terjadi disini dan anda akan mendapat banyak penjelasan; teori tentang asal-usul hollowgast, teori perubahan-wujud yang melibatkan memakan bolamata (apa saya sudah bilang, filmnya tak terlalu aman bagi anak-anak?), teori tentang time-loop dan ketika di akhir Jake mencoba memanfaatkan time-loop untuk melakukan perjalanan waktu, logika saya mulai nyut-nyutan.

Peran Butterfield mirip dengan Alice-nya Wasikowska dalam Alice in Wonderland yang berfungsi sebagai kacamata untuk membawa penonton ke dalam dunia yang ajaib. Jake simpatik, tapi kepribadiannya nyaris hampa. Anak-anak istimewa tak mendapat waktu untuk berkembang sebagai karakter, selain memparadekan kemampuan mereka. Hanya ada beberapa yang terasa seperti karakter sungguhan yang lengkap dengan bobot emosi. Eva Green memberikan penampilan yang kuat sebagai Miss Peregrine yang berwibawa dan serius, tapi cocok dengan ke-campy-an semesta Burton.

Terkadang terlintas pemikiran bahwa dalam Miss Peregrine's Home for Peculiar Children, Burton lebih peduli dengan konsep dan tata produksi dibanding narasi. Dan memang sulit untuk tak mengagumi desain karakter, kostum, set dan detil lainnya. Ada adegan dimana Jake memegang Emma melalui sebuah tali layaknya layangan atau bagaimana Emma mengapungkan kapal hanya dengan tiupan napasnya (anda tak salah baca). Adegan puncak melibatkan gerombolan tengkorak yang berhuru-hara di taman bermain. Kekurangan thrill memang, tapi tetap imajinatif.

Source : UlasanPilem.com

Daftar Film terbaik 2014 versi UlasanPilem.com

Berikut daftar 10 film terbaik 2014 versi UlasanPilem.com.


#10 Godzilla

Sutradara: Gareth Edwards

Saya tak punya ekspektasi apapun saat pertama kali menonton reboot film Godzilla ini. Image Godzilla sebagai raksasa penyelamat, dihancurkan oleh remake Hollywood menjadi sekedar monster pemakan ikan. Di belakang layar ada sutradara Gareth Edwards yang biasa menangani film indie, dan saya tak yakin apa yang bisa dia lakukan dengan film blockbuster.

Meskipun skripnya sedikit standar, namun pendekatan narasi Edwards terhadap keberadaan sang monster dengan membangun tensi secara perlahan dan dramatis, membuat kemunculannya menjadi epik di akhir film. Anda tak pernah melihat Godzilla secara keseluruhan, hanya siluet dan bayangan sekelebat yang membuat penasaran. Dan semua terbayar dengan adegan akhir yang fantastis.


#09 Locke

Sutradara: Steven Knight

Selama lebih kurang satu setengah jam, kita dipaksa melihat Tom Hardy melakukan dan menerima panggilan telpon, berbicara dengan orang-orang yang tak pernah kita lihat muncul di layar. Disini kita diajak masuk ke dalam kehidupan Ivan Locke dengan segala konfliknya. Secara perlahan, kepribadian, masa lalu, prinsip, dan problematika Locke terungkap.

Ini adalah one man show dan Hardy memberikan penampilan yang menawan membuat kita larut dalam kehidupan Locke hanya dari komunikasi jarak jauh. Skrip dan penyutradaraan dari Steven Knight dilakukan sedemikian rupa sehingga intensitas film tetap stabil dari awal hingga akhir.


#08 The Equalizer

Sutradara: Antoine Fuqua

Sedikit mengingatkan saya dengan Man on Fire yang juga diperankan oleh Denzel Washington. Alih-alih menyelamatkan anak bosnya, disini peran Washington menjadi semacam pembela kebenaran di dunia nyata, yang membasmi semua hal curang yang terjadi. Yang bikin spesial adalah karisma tokoh utama yang dibawakan dengan sempurna oleh Washington. Dengan pembawaannya yang tenang, Washington tak terkalahkan hingga akhir. Anda bisa memprediksi endingnya, tapi anda takkan jenuh atau bosan menonton film ini. Anda kecanduan melihat Washington beraksi di depan layar.

Ada 2 film lain bertipe sama yang juga sama bagusnya, The Guest dan John Wick. Namun penampilan Washington membuat film ini lebih mengena dibanding yang lain.


#07 The Lego Movie

Sutradara: Christopher Miller, Phil Lord

Dipandang skeptis sebagai film yang hanya menjadi sarana promosi untuk meningkatkan penjualan mainan anak-anak bermerek sama, The Lego Movie menjadi film animasi dengan pendapatan masif. Film ini bercerita tentang Emmett seorang Lego biasa yang ingin menyelamatkan dunia dari tirani Lord Business.

Dengan mengambil cameo dari beberapa film lain, film ini adalah parodi budaya populer dengan lelucon yang segar, animasi yang cantik, dan cerita yang (secara mengejutkan) hangat. Ini adalah tontonan seru untuk semua usia.


#06 Edge of Tomorrow

Sutradara: Doug Liman

Tema film ini seperti halnya bermain game, dimana sang karakter utama berusaha membunuh musuhnya, kemudian mati dan harus mengulang lagi, mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya, bertarung lagi, mati, bangkit, hingga akhirnya menghadapi bos besar. Premis time-loop yang tampaknya bakal membosankan ini menjadi segar di tangan sutradara Doug Liman.

Film in punya semua elemen film summer blockbuster: skenario, production design, scoring, dan spesial efek yang bagus. Chemistry antara Tom Cruise dan Emily Blunt yang sempurna membuat film ini kocak namun juga menyentuh. Edge of Tomorrow menjadi film hiburan yang cerdas dan menegangkan, tanpa kehilangan elemen aksi ala blockbuster (yaa, tak seperti The Avengers yang hambar. Ups).


#05 The Grand Budapest Hotel

Sutradara: Wes Anderson

Terinspirasi dari cerita Stefan Zweig, film ini bercerita tentang manajer hotel bersama sang ajudan yang berusaha untuk membuktikan ketidakbersalahannya atas tuduhan pembunuhan. Ada banyak momen kocak. Dan dengan dialognya yang cerdas, film ini akan akan menjadi film yang banyak dikutip tahun ini.

Seperti film Wes Anderson sebelumnya, film ini memiliki gaya tersendiri. Glamor dan stylish. Totalitas production design-nya memanjakan penonton secara visual. Deretan nama tenar di cast-nya juga memberikan penampilan maksimal dengan karakterisasi yang unik dan akting yang apik, apalagi Ralph Fiennes dan Tony Revolori.

Baca review lengkapnya disini


#04 Whiplash

Sutradara: Damien Chazelle

Sejauh apa anda akan memaksa diri anda untuk menjadi yang terbaik? Tema film debutnya Damien Chazelle ini adalah tentang obsesi dan perfeksionisme yang diraih dengan darah dan keringat. Film ini bercerita tentang murid baru sekolah musik dan hubungannya dengan mentor yang perfeksionis.

Whiplash intens dari awal sampai akhir. Chazelle mengangkat cerita dengan skop yang tak popuper (tak banyak orang peduli dengan drummer, apalagi jazz) menjadi film dengan ketegangan tinggi seperti film thriller, dengan ending paling mengejutkan tahun ini. Dan, J.K. Simmons memberikan penampilan terbaik sepanjang karirnya.

Baca review lengkapnya disini


#03 Gone Girl

Sutradara: David Fincher

Gone Girl adalah film yang komplek, tragis, dan brutal. David Fincher yang biasa menangani film-film misteri memberikan kita sajian berkualitas dengan psychological-thriller ini. Bercerita tentang seorang pria yang istrinya tiba-tiba menghilang secara misterius dan semua bukti mengarah pada pria tersebut, film ini diangkat dari novel karya Gillian Flynn yang juga merangkap sebagai penulis naskah.

Bekerja sama dengan komposer langganannya, Trent Reznor, Fincher menjadikan Gone Girl film dengan atmosfer yang gelap dan membingungkan, yang akan membuat anda mempertanyakan nilai-nilai moral, bahkan hingga selesai menonton.

Baca review lengkapnya disini


#02 Birdman

Sutradara: Alejandro G. Inarritu

Saya suka karya Alejandro G. Iñárritu. Saya suka film satire. Dua hal tersebut membuat suka dengan Birdman. Terlepas dari opini pribadi, Birdman adalah film yang dibuat dan dieksekusi dengan baik. Dengan sudut pandang dari mantan aktor superhero, Inarritu menyerang semua hal di balik industri hiburan. Lebih jauh lagi, Inarritu mempresentasikan dengan eksplisit hasrat manusia untuk dikenal dan keinginan untuk menjadi "tak terlupakan".

Penyutradaraa, scoring, dan akting para tokohnya sempurna. Namun yang luar biasa adalah sinematografi dari Emmanuel Lubezki yang kontinu berkesan seolah-olah film ini diambil dengan one take, dan memberikan kita sensasi surealisme.

Baca review lengkapnya disini


#01 Boyhood

Sutradara: Richard Linklater

Boyhood adalah proyek paling prestisius dari Richard Linklater dimana film ini dibuat selama 12 tahun dengan cast yang sama. Tentunya, akan sulit menjaga konsistensi cerita dan karakter yang diperankan oleh aktor dalam rentang waktu selama itu. Perlu skrip yang matang, visi yang jelas, dan dedikasi aktor dan kru.

Terlepas dari hal teknis yang tersebut, Boyhood yang bercerita tentang perkembangan masa remaja seorang bocah bernama Mason dari tahun 2002 sampai 2013 ini, adalah film yang jujur, intim dan natural. Film ini menganalisa jenjang kehidupan Mason bukan dari pencapaian yang diraihnya melainkan hal-hal sederhana yang mungkin tak signifikan. Linklater mencoba menyampaikan apa adanya dan semua terasa sangat realistis. Saya merasa seperti menonton masa remaja saya sendiri. Dan ini pastinya membuat Boyhood bukan sekedar tontonan melainkan juga media refleksi diri.

Baca review lengkapnya disini


Daftar di atas terbatas hanya dari film yang sudah saya tonton sepanjang 2014 dan menurut saya terbaik. Berikut recap-nya :
#01 Boyhood
#02 Birdman
#03 Gone Girl
#04 Whiplash
#05 The Grand Budapest Hotel
#06 Edge of Tomorrow
#07 The Lego Movie
#08 The Equalizer
#09 Locke
#10 Godzilla
10 adalah jumlah yang sedikit sehingga mungkin ada film-film lain yang menurut anda layak masuk daftar terbaik 2014. Mungkin anda kurang setuju dengan saya. Oleh karena itu dengan senang hati, saya persilakan anda masukkan daftar film terbaik anda di komentar.

Source : UlasanPilem.Com